Sabtu, 07 November 2015

Mekanisme Antibodi Monoklonal dalam Melawan Sel Kanker


(Kanker kolon, kanker pancreas, beberapa jenis kanker paru, kanker mammae dan lambung) 
            Penyebab kematian pada manusia disebabkan pertumbuhan mikroorganisme parasit, protein asing, hingga kelainan genetik baik bawaan parental maupun akibat mutasi dalam tubuh. Salah satu penyakit akibat mutasi genetik adalah kanker dan merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar di dunia. World Health Organisazion (WHO) menyatakan bahwa setiap tahun terjadi peningkatan penderita kanker di dunia sebesar 6,25 juta orang dan pada tahun 2011, setidaknya ada 9 juta orang meninggal akibat kanker. Di Indonesia, setiap tahunnya terdapat 100 penderita kanker baru dari setiap 100.000 penduduk. Penyakit kanker saat ini menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah penyakit jantung dan paru-paru. Berbagai macam pengobatan kanker telah dikembangkan untuk menekan pertumbuhan sel mematikan ini, seperti kemoterapi hingga pembedahan untuk mengangkat jaringan yang sel-selnya termutasi. Pengangkatan sel dengan metode pembedahan memiliki kemungkinan kecil bahkan tidak berhasil karena bisa jadi sel kanker ada yang tertinggal dan dapat menginduksi sel-sel lain di sekitarnya sehingga kanker kembali muncul. Kemoterapi masih menjadi pilihan walaupun efek samping dari pengobatan ini cenderung menyakitkan bagi tubuh penderita. Perkembangan ilmu pengetahuan akhirnya memunculkan suatu alternatif penyembuhan kanker yang lebih menjanjikan yaitu antibodi monoklonal.
Sistem pertahanan tubuh manusia telah dilindungi oleh sistem imunologi dimana antibodi bertugas mengidentifikasi, membunuh dan mengurangi sel atau zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Pada tahun 1975, dua ahli Biologi yaitu Kohler dan Milstein menemukan bahwa salah antibodi yang dihasilkan limfosit dapat digabungkan dengan sel mieloma (malignan) yang merupakan sel kanker limfosit jenis B. Limfosit jenis B menghasilkan imunoglobulin abnormal bernama protein monoklonal. Sel tersebut dihasilkan di sumsum tulang belakang manusia dan hewan. Karakteristik khusus dari mieloma adalah kemampuannya untuk melakukan regenerasi sel secara cepat. Sedangkan limfosit memiliki kemampuan untuk menghasilkan antibodi yang spesifik, sehingga hanya menyerang antigen atau protein asing tertentu, sesuai dengan memori yang dimiliki oleh sel tersebut. Antigen memproses dan mengenali sel asing terjadi pada dua jalur utama yakni jalur MHC kelas I dan MHC kelas II. Antigen ditunjukkan oleh MHC kelas I yang mengaktifkan CD8+ sitotoxic T limfosit (CTLs) untuk membunuh sel yang terinfeksi, sedangkan MHC kelas II menyampaikan antigen untuk mengaktifkan CD4+ sebagai penunjang T limfosit untuk menjalankan fungsinya dalam mengkontrol produksi humoral, CTL sebagai perantara dan inflamasi respon dari sistem imun.
 Mekanisme kerja antibodi dalam tubuh dimulai dengan diikatnya epitope (bagian antigen) oleh antibodi. Ikatan ini akan membentuk kompleks antigen-antibodi yang berukuran besar dan akhirnya mengendap. Kompleks antigen-antibodi ini juga dapat dikenali oleh sel makrofag, yang akan mendegradasi kompleks ini. Selama ini antibodi yang sering digunakan dalam deteksi adalah poliklonal antibodi. Pada larutan antibodi ini terdapat bermacam-macam molekul antibodi. Satu molekul antibodi, biasanya mengenali satu macam epitope, sehingga larutan poliklonal antibodi mengenali lebih dari satu macam epitope (Hanly, et.al, 1995). Namun larutan poliklonal yang kurang spesifik tidak dapat digunakan sebagai alat deteksi. Ketidakspesifikan pada poliklonal antibodi dapat diatasi dengan menggunakan monoklonal antibodi, jenis antibodi perkembangan poliklonal antibodi. Larutan monoklonal antibodi, hanya mengandung satu macam molekul antibodi, sehingga larutan ini hanya mengenali satu macam antigen (Grimaldi dan French, 1995).
                Pembuatan antibodi monoklonal  merupakan  tahapan  penelitian  yang terpanjang.  Tahapan  diawali  dengan imunisasi  pada  mencit  dengan  antigen spesifik  antigen onkofetal,  yaitu  Carcinoembryonic Antigen (CEA). CEA dapat ditemukan dalam darah penderita non-neoplastik seperti emfisema, colitis ulseratif, pankreatitis, peminum alkohol dan perokok. Antigen onkofetal lainnya yaitu AFP yang ditemukan dalam kadar tinggi dalam serum fetus normal, eritroblastoma testis dan hepatoma.  Standarisasi kualitas Protein  harus  bebas  dari  kotaminasi sehingga harus dilakukan pemeriksaan kontaminasi dengan  menggunakan darah dan apabila suspensi protein  yang  telah terkontaminasi, maka protein tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai antibodi monoklonal. Setelah  didapatkan  periode  dengan respon  antibodi  yang  tertinggi,  dilakukan isolasi  limfosit  dari  limfa  mencit,  dihitung dengan  jumlah  108 sel.  Sel  mieloma  dipilih dengan jumlah yang sama limfosit, dilakukan fusi  sehingga  didapatkan  sel  hibdridoma. Selanjutnya  dilakukan  seleksi  hibridoma untuk  memisahkan  hibridoma  dengan  sel mioloma  dan  limfosit  yang  tidak  berfusi. Prosedur ini dilakukan dengan media seleksi hipoxantin,  aminopterin  dan  timidin  (HAT), dalam hal ini sel hibridoma dan limfosit yang tidak  berfusi  akan  mati.  Selanjutnya ditambahkan  feeder  cells,  dalam  hal  ini makrofag  untuk  mamfagosit  sel-sel  yang mati. Dilakukan  prosedur  kloning  untuk mendapatkan  satu  klon  hibridoma  penghasil antibodi.  Prosedur  ini  dilakukan  dengan menempatkan  1  sel  hibridoma  dalam  tiap sumuran.  Identifikasi  hibridoma  penghasil antibodi  monoklonal  (producer)  dan  bukan penghasil, dilakukan analisis supernatan dari tiap  sumuran  dengan  menggunakan  ELISA, yaitu uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi (Zola, H., ELISA, 1988). Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor Kelompok non produser selanjutnya dibuang. Sehingga pada akhirnya didapatkan sumuran dengan hibridoma produser. Tahapan  berikutnya  adalah  propagasi hibridoma produser yang dilakukan secara in vivo,  yaitu  dengan  menyuntikkan  klon hibridoma pada mencit secara intraperitoneal. Dalam  2  minggu,  mencit  akan  mengalami ascites  yang  mengandung  banyak  antibodi monoklonal. Antibodi  monoklonal  yang  dihasilkan dipresipitasi  dengan  amonium  sulfat  jenuh dan  dipurifikasi  dengan  teknik  affinitas kromatografi.  Pada  akhir  tahapan  ini didapatkan  suatu  antibodi  monoklonal  dan klon sel hibridoma produser (Jurnal “ PENGEMBANGAN ANTIBODI MONOKLONAL TERHADAP ANTIGEN SPESIFIK oleh Netti Suharti, Andani Eka Putra”, 2013)
    Antibodi alami dalam tubuh manusia tidak dapat menyerang sel kanker karena tidak dapat mengenali sel-sel tersebut sebagai protein asing (antigen). Sehingga, fungsi utama antibodi monoklonal adalah untuk mengenali molekul khas yang terdapat pada permukaan sel kanker. Setelah mengenali sel abnormal tersebut, antibodi monoklonal akan mengikat sel kanker. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai cara kerja antibodi monoklonal, berikut ini adalah beberapa cara yang dapat dilakukan antibodi monoklonal untuk mengatasi sel kanker.
  1. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) adalah cara yang dilakukan antibodi monoklonal untuk membuat sel-sel kanker terlihat bagi sel fagosit, sebagai natural killer di tubuh manusia. Ikatan antibodi monoklonal dengan antigen permukaan sel tumor memicu penglepasan perforin dan granzymes yang dapat menghancurkan sel tumor. Sel - sel yang hancur ditangkap Antigen Presenting Cell (APC) lalu dipresentasikan pada sel B limfosit (sebagai penghasil antibodi alami di dalam tubuh) sehingga memicu pelepasan antibodi kemudian antibodi ini akan berikatan dengan target antigen. Pelepasan antibodi oleh sel B limfosit memicu sel T limfosit untuk mengenali dan membunuh sel target.
  1. Complement dependent cytotoxicity (CDC)
Pengikatan antibodi monoklonal dengan antigen memicu protein lain untuk mengawali pelepasan proteolitik dari sel efektor kemotaktik yang dapat menyebabkan terbentuknya lubang pada membran sel-sel kanker. Lubang ini membuat air dan ion natrium dapat keluar dan masuk sel kanker tanpa terkendali sehingga sel tersebut akan mengalami lisis atau pecah.
  1. Perubahan Transduksi Signal
Pada setiap sel tubuh, terdapat reseptor growth factor yang merupakan target sel tumor untuk menginduksi sel-sel sehat tersebut agar mengalami aktivitas metabolisme yang berlebihan dan terjadi pembelahan sel secara cepat sehingga timbul kanker. Transduksi sinyal dari sel kanker ini akan terus meluas sehingga pada suatu fase, jika tingkat keganasannya meningkat, pengobatan dengan kemoterapi tidak dapat mengendalikan atau menekan pertumbuhan sel ganas tersebut. Antibodi monoklonal sangat potensial untuk menormalkan laju perkembangan sel dan membuat sel sensitif terhadap zat sitotoksik (dari kemoterapi) dengan menghilangkan signal reseptor ini. Hasilnya, perkembangan sel kanker dapat terhenti dan obat yang diberikan melalui kemoterapi dapat menghancurkan sel-sel kanker tersebut.
  1. Antibodi Directed Enzyme Prodrug Therapy (ADEPT)
Antibodi Directed Enzyme Prodrug Therapy (ADEPT) adalah cara penggunaan antibodi monoklonal sebagai penghantar enzim dan obat-obatan untuk sampai ke sel kanker. Enzim yang dibawa oleh antibodi monoklonal akan mengaktifkan obat-obatan sehingga dapat meningkatkan kerja obat untuk membunuh sel-sel kanker. Selain obat-obatan, antibodi monoklonal juga dapat digabungkan dengan partikel radioaktif untuk dikirimkan langsung pada sel kanker.
   Sesuai dengan mekanisme kerjanya, terdapat dua jenis antibodi monoklonal yang dapat diberikan pada penderita kanker yaitu naked monoclonal antibodies atau antibodi monoklonal murni.  Penggunaan Antibodi dapat digunakan tanpa dikombinasikan dengan obat lain atau material radioaktif. Jenis yang kedua adalah conjugated monoclonal antibodies yaitu antibodi monoklonal yang dikombinasikan dengan berbagai jenis obat, toksin, dan materi-materi radioaktif. Antibodi monoklonal jenis ini ini hanya berperan sebagai pengangkut yang akan mengantarkan substansi-substansi obat, racun, dan materi radioaktif, menuju langsung ke sel-sel kanker.
     Pada masa kini, terapi kanker dengan antibodi monoklonal menjadi cara yang dinilai paling efektif dalam memusnahkan sel kanker secara tuntas dan tanpa efek samping. Keluhan dari pasien yang mendapatkan terapi ini umumnya muncul akibat faktor lain yang digabungkan dengan antibodi monoklonal seperti obat kimiawi atau partikel radioaktif. Sehingga angka kematian yang tumbuh akibat Kanker dapat terisolir dengan pengobatan antibodi monoklonal. (http://www.academia.edu/6774131/Penyembuhan_Kanker_dengan_Antibodi_Monoklonal.)

http://ario-wahyubudi-fst13.web.unair.ac.id/artikel_detail-107954-Tugas%20Akhir%20UAS-Mekanisme%20Antibodi%20Monoklonal%20dalam%20Melawan%20Sel%20Kanker%20%20%28Kanker%20kolon,%20kanker%20pancreas,%20beberapa%20jenis%20kanker%20paru,%20kanker%20mammae%20dan%20lambung%29.html

REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI

                Antigen adalah zat-zat asing yang pada umumnya merupakan protein yang berkaitan dengan bakteri dan virus yang masuk ke dalam tubuh. Beberapa berupa olisakarida atau polipeptida, yang tergolong makromolekul dengan BM > 10.000. Antigen bertindak sebagai benda asing atau nonself oleh seekor ternak dan akan merangsang timbulnya antibodi.
            Antibodi merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan antigen tersebut.  Konfigurasi molekul antigen-antibodi sedemikian rupa sehingga hanya antibodi yang timbul sebagai respon terhadap suatu antigen tertentu saja yang ccocok dengan permukaan antigen itu sekaligus bereaksi dengannya.
            Sel-sel kunci dalam respon antigen-antibodi adalah sel limfosit. Terdapat dua jenis limfosit yang berperan, yaitu limfosit B dan T. Keduanya berasal dari sel tiang yang sama dalam sumsum tulang. Pendewasaan limfosit B terjadi di Bursa Fabricius pada unggas, sedangkan pada mamalia terjadi di hati fetus, tonsil, usus buntu dan jaringan limfoid dalam dinding usus. Pendewasaan limfosit T terjadi di organ timus.
            Sistim kebal atau imun terdiri dari dua macam, yaitu sistim kebal humoral dan seluler. Limfosit B bertanggung jawab terhadap sistim kebal humoral. Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka limfosit B berubah menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi humoral. Antibodi humoral yang terbentuk di lepas ke darah sebagai bagian dari fraksi g- globulin. Antibodi humoral ini memerangi bakteri dan virus di dalam darah.
            Sistem humoral merupakan sekelompok protein yang dikenal sebagai imunoglobulin (Ig) atau antibodi (Ab).
            Limfosit T bertanggung jawab terhadap kekebalan seluler. Apabila ada antigen di dalam tubuh, misalnya sel kanker atau jaringan asing, maka limfosit T akan berubah menjadi limfoblast yang menghasilkan limphokin (semacam antibodi), namun tidak dilepaskan ke dalam darah melainkan langsung bereaksi dengan antigen di jaringan. Sistim kekebalan seluler disebut juga “respon yang diperantarai sel”.

Gambar 1.  Diagram Perkembangan Dua Sistim Imun (Soegiri, Soegiri, 1988).



           Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh ternak maka tubuh akan terangsang dan memunculkan suatu respon awal yang disebut sebagai respon imun primer. Respon ini memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan membentuk ingatan imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih peka terhadap antigen. Kalau antigen yang sama memasuki tubuh kembali maka respon yang muncul dari tubuh berupa respon imun sekunder. Respon ini muncul lebih cepat , lebih kuat dan berlangsung lebih lama daripada respon imun primer
               

      Gambar.2. Aktifitas Sel B dalam Reaksi Antigen-antibodi (Soegiri, Soegiri, 1988).

Imunisasi
                Imunisasi adalah  cara untuk membuat ternak kebal terhadap penyakit menular. Imunisasi dibagi menjadi dua macam yaitu imunisasi pasif dan imunisasi aktif. Kedua macam imunisasi tersebut berbeda dalam beberapa aspek berdasarkan  cara memperolehnya, sifat resistensi yang dihasilkan, cepat – lambatnya kemunculan antibodi maupun katabolismenya.

Gambar .3. Klasifikasi tipe imunitas dan cara yang digunakan untuk membuat perlindungan (Tizard,  1988)        

Imunisasi Pasif 

  Imunisasi pasif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan tubuh ternak dengan cara memindahkan antibodi dari ternak resisten kepada ternak yang.rentan. Ternak rentan tidak perlu secara aktif berbuat sesuatu untuk menjadi kebal, di dalam tubuh terna ktidak terjadi reaksi antara antigen dengan antibodi. Resistensi yang dihasilkan hanya bersifat sementara, memberi perlindungan yang cepat namun cepat pula dikatabolisme, sehingga ternak resipien menjadi rentan kembali terhadap infeksi ulang. Tidak ada sel ingatan yang akan melindungi ternak apabila antibodi telah habis. Pada ayam, imunitas pasif diturunkan dari induk kepada anak ayam melalui kuning telur.

            Contoh-contoh imunisasi pasif, antara lain adalah  (1) antibodi dalam kolustrum yang diberikan oleh induk sapi kepada pedet yang baru lahir. (2) antibodi yang diberikan induk ternak lewat plasenta saat fetus masih dalam kandungan. (3) antitoksin tetanus yang diberikan pada ternak untuk memberi perlindungan segera terhadap tetanus. (4) Antiserum anthrax yang diberikan kepada ternak untuk memberi perlindungan segera terhadap penyakit anthrax.


Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekebalan tubuh pada ternak melalui pemberian antigen pada ternak sehingga ternak menanggapinya dengan meningkatkan tanggap kebal protektif berperantaraan sel atau antibodi atau kedua-duanya. Pada imunisasi aktif, kekebalan tidak terbentuk secara cepat, namun sekali terbentuk akan bertahan lama dan terbentuk sel ingatan, sehingga memiliki kemampuan perangsangan ulang. Imunitas aktif bisa diperoleh melalui infeksi alami atau buatan dengan vaksinasi. Imunitas aktif bisa dirusak oleh sesuatu yang berdampak negatif terhadap sistim kebal humoral maupun seluler yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tubuh ternak  berespon terhadap antigen.



MENGUKUR KAPASITAS PERNAPASAN PARU-PARU




Haniyaturrohmah
Intan Anugrah R
Intan Ismawati
kelompok 16
T-Ipa.Bio.C/VI

Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang uji pengukuran kapasitas pernapasan paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kapasitas pernapasan di dalam paru-paru dan untuk mengetahui kemampuan kapasitas paru-paru setelah beraktivitas maupun sebelum beraktivitas. Metode pengambilan data dengan cara menghembuskan nafas sekuat-kuatnya setelah terlebih dahulu mengisi atau menarik nafas secara maksimal dan kemudian mengeluarkannya sebanyak-banyaknya pada rancangan alat pengukur kapasitas paru-paru. Setelah kita melakukan aktivitas maka kondisi kapasitas paru-paru kita itu akan menurun dibandingkan dengan sebelum kita melakukan aktivitas.
Pendahuluan
Pada umumnya volume dan kapasitas paru-paru manusia hanya dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Tetapi selain itu, faktor penyakit dan aktifitas seseorang juga dapat mempengaruhi kapasitas paru-paru. Seorang atlet dan pekerja bangunan atau kuli memiliki kapasitas paru-paru yang berbeda dibandingkan seorang pekerja kantoran. Seorang yang mempunyai penyakit paru-paru atau asma juga mempunyai kapasitas paru-paru yang berbeda dibandingkan dengan orang normal. Pada orang yang memiliki penyakit asma (emfisema), diameter saluran udara pada paru-parunya menyempit, sehingga aliran udara yang keluar masuk paru-paru menjadi berkurang. Hal tersebut mengakibatkan adanya penurunan kapasitas paru-parunya. (Gabriel, 1996). 
Kegiatan inspirasi dan ekspirasi atau menghirup dan menghembuskan udara dalam bernapas hanya menggunakan sekitar 500 cc volume udara pernapasan (kapasitas tidal = ± 500 cc). Kapasitas tidal adalah jumlah udara yang keluar masuk paru-paru pada pernapasan normal. Namun dalam keadaan ekstrim atau olah raga, siklus pernapasan memerlukan sekitar 1500 cc udara pernapasan (expiratory reserve volume). Secara perhitungan matematis Kapasitas Total Paru-paru (KTP) dapat ditentukan dengan cara mengukur hiperventilasi maksimal dalam satu menit, atau dengan kata lain Kapasitas Vital (KV) ditambah Volume Residual (KR). Jadi nilai Kapasitas Total Paru-paru (KTP) = KV + VR. (Hernawati, 2008).
Saat keadaan normal volume paru-paru manusia mencapai 4500 cc, yang disebut sebagai kapasitas total udara pernapasan manusia. Pada keadaan normal, kegiatan inspirasi dan ekspirasi dalam pernapasan hanya mengunakan 500 cc volume udara pernapasan atau disebut kapasitas tidal. Dari 500 cc udara pernapasan yang digunakan untuk alveolus hanya sebesar 350 cc saja, sisanya hanya mengisi saluran pernapasan. Walaupun demikian, kapasitas vital udara yang digunakan dalam proses bernapas mencapai 3500 cc, yang 1000 cc merupakan sisa udara yang tidak dapat digunakan tetapi senantiasa mengisi bagian paru-paru sebagai residu atau udara sisa. Kapasitas vital adalah jumlah udara maksimun yang dapat dikeluarkan seseorang setelah mengisi paru-parunya secara maksimum. (Cameron, 1999).
Sewaktu menghirup udara (inspirasi) dinding dada secara aktif tertarik keluar oleh pengerutan dinding dada, dan sekat rongga dada (diafragma) tertarik ke bawah. Berkurangnya tekanan di dalam paru-paru menyebabkan udara mengalir ke paru-paru. Hembusan napas keluar (ekspirasi) disebabkan mengkerutnya paru-paru dan diikuti rongga dada yang menyusut. (Aiello, 2008).
Metode Percobaan
            Pada percobaan ini menggunakan alat dan bahan berupa toples, 2 selang plastik ± 40 cm, gelas ukur 500 ml, air 1000 ml, wadah/baskom. Adapun langkah-langkahnya yaitu:
a.       pada toples tersebut, pasanglah 2 selang plastik dengan ukuran yang berbeda, untuk tempat masuknya udara ke toples ukurannya pendek atau tidak menyentuh air, sedangkan untuk tempat keluarnya air ukurannya panjang atau menyentuh air di dalam toples.
b.      Letakkan toples dan isilah air sebanyak 1000 ml
c.       Siapkan wadah tempat keluarnya air dari stoples tersebut.
d.      Hiruplah napas dalam-dalam dan embuskan napas sekuat-kuatnya lewat mulut ke dalam stoples berskala melalui selang plastik.
e.       Amati beberapa volume air yang keluar dari stoples tersebut.
f.        Kemudian ukur berapa volume  air yang keluar dari stoples tersebut.
g.       Kemudian kita membandingkan antara kapasitas paru-paru sebelum dan setelah beraktivitas ( berlari ± 1 menit)
Hasil pengamatan
No
Nama
Jenis kelamin
Sebelum beraktivitas
Sesudah beraktivitas (berlari ±1 menit)
Waktu dan volume air yang dicapai
Waktu dan volume air yang dicapai
1
Ali
L
Volume air : 1086 ml
Waktu          : 37:26 s
Volume air : 616,6 ml
Waktu          : 26:61 s
2
Anto
L
Volume air : 663,3 ml
Waktu          : 21:62 s
Volume air : 650 ml
Waktu          : 20:47 s
3
Aisyah
P
Volume air : 873 ml
Waktu          : 27:62 s
Volume air : 733,3 ml
Waktu          : 27:98 s
Rata-rata waktu dan volume air yang dicapai dari keempat sampel tersebut.
Keadaan Biasa
Volume air : 857,65 ml
Waktu          : 27:8125 s
Setelah Beraktivitas (berlari ±1 menit)
Volume air : 687,325 ml
Waktu          : 25:0875 s

Pembahasan
Apabila seseorang beristirahat setelah melakukan aktivitas maka daya tahan kardorespirasinya meningkat lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak melakukan aktivitas. Aktivitas yang dilakukan seseorang akan menyebabkan otot menjadi kuat. Perbaikan fungsi otot terutama otot pernapasan meyebabkan pernapasan lebih efisien pada saat istirahat. Ventilasi paru pada orang yang terlatih dan tidak terlatih relative sama besar, tetapi orangyang berlatih bernapas lebih lambat dan lebih dalam. Hal ini menyebabkan oksigen yangdiperlukan untuk kerja otot pada proses ventilasi berkurang, sehingga dengan jumlahoksigen sama, otot yang terlatih akan lebih efektif kerjanya.
Setelah kita melihat penjelasan diatas ternyata kapasitas paru-paru manusia setelah beraktivitas lebih tinggi dibandingkan sebelum beraktivitas. Itu dikarenakan, perlakuan yang diberikan kelompok kami itu berbedah. Yang seharusnya setelah kita beraktivitas kitas harus beristirahat sejenak untuk menenangkan pernapasan kita. Setelah itu baru kemudian kita melakukan perlakuan. Tetapi yang terjadi pada kelompok kami yaitu setelah beraktivitas kita tidak beristirahat sejenak tetapi kita lansung melakukan perlakuan, akibatnya kapsitas paru-paru itu menjadi lebih rendah dikarenakan pergerakan udara pada paru-paru kita belum stabil sehingga data yang kita rangkum itu terjadi kejanggalan, dimana kapasitas paru-paru sebelum beraktivitas lebih tinggi dibanding kapasitas paru-paru setelah beraktivitas.
Kesimpulan
Kapasitas paru-paru manusia setelah beraktifitas lebih tinggi di bandingkan dengan kapasitas paru-paru manusia sebelum beraktifitas. Kapasitas paru-paru manusia setelah beraktivitas kemudian beristirahat lebih besar di bandingkan kapasitas paru-paru manusia setelah beraktivitas tanpa istirahat.

MENGETAHUI JARAK TITIK BUTA



Haniyaturrohmah
Intan Anugrah Rahayu
Intan Ismawati
Kelompok 16
T.IPA-BIOLOGI.C/VI


Abstrak
Titik buta adalah suatu daerah di retina mata yang merupakan jalur syaraf penglihatan menuju ke otak, dan tepat di jalur keluar tersebut tidak terdapat sel peka cahaya sehingga bila bayangan benda jatuh tepat di bintik buta, maka otak tidak akan mendapatkan sinyal dari mata karena bayangan itu jatuh tidak pada sel-sel yang peka cahaya.
Posisi bintik buta mata kanan dan kiri berbeda. Pada jarak tertentu, benda terlihat dan pada jarak tertentu benda tidak terlihat. Ketika benda tidak terlihat pada jarak tertentu, hal ini disebabkan oleh pembiasan cahaya dari benda tersebut jatuh dibagian bintik buta pada retina yang cahayanya jatuh pada bagian yang tidak mengenai sel-sel batang dan kerucut sehingga tidak ada impuls yang diteruskan ke saraf optik. Sebaliknya, jika pembiasan cahaya dari suatu benda jatuh di bagian bintik kuning pada retina, maka benda dapat terlihat.

Kata Kunci : mata, titik buta, saraf optik

1.      Pendahuluan
Bintik buta adalah tempat saraf optik meninggalkan bagian dalam bola mata. Benda yang terkena cahaya akan membiaskan cahayanya melalui kornea dan diteruskan ke aqeus humor, pupil, lensa mata, vitrous humor, kemudian ke retina. Cahaya yang masuk ke bagian bintik kuning retina akan mengenai sel-sel batang dan kerucut. Sel kerucut sebagai fotoreseptor yang peka cahaya akan menangkap rangsang dan mengubahnya menjadi impuls yang dihantarkan ke saraf optik ke otak besar bagian belakang (lobus oksipitalis). Pada lobus oksipitalis ini terjadi asosiasi berupa kesan melihat benda.
Pembiasan cahaya dari suatu benda akan membentk bayangan benda jika cahaya tersebut jatuh di bagian bintik kuning pada retina, karena cahaya yang jatuh pada bagian tersebut akan mengenai sel-sel batang dan kerucut yang meneruskannya ke saraf optik dan saraf optik meneruskannya ke otak sehingga terjadi kesan melihat. Sebalknya, bayangan suatu benda akan tidak nampak, jika pembiasa cahaya dari suatu benda tersebut jatuh di bagian bintik buta pada retina.

2.      Alat dan Bahan
-         Kertas ukuran 13 x 7 cm
-         Meteran
-         Spidol

3.      Cara Kerja
a.       Dibuat tanda tambah (+) dan tanda minus (-) masing-masing diameter 0,5 cm pada kertas. Diusahakan kedua tanda tersebut memiliki jarak 9 cm.
b.      Salah seorang teman memegang kertas sejauh 60 cm ke depan.
c.       Mata kiri ditutup dengan tangan kiri dan pusatkan pandangan mata kanan pada tanda (+).
d.      Kertas didekatkan secara perlahan sehingga perangkat percobaan mendekat ke wajah. diperhatikan kedua tanda masih tampak jelas.
e.       Ditarik lebih dekat lagi hingga pada jarak tertentu tanda mines (-) menjadi tidak tampak.
f.        Diukur jarak antara titik pandangan (mata) dengan perangkat percobaan dan catat.
g.       Diulangi percobaan yang sama dengan cara yang berbeda, mata kanan ditutup, sedangkan mata kiri berkonsentrasi memperhatikan tanda tanda mines (-).

4.      Hasil Pengamatan
No
Nama
Jarak tanda (-) pada mata kiri
Jarak tanda (+) pada mata kanan
(-) hilang
(-) muncul
(+) hilang
(+) muncul
1
A.Chandra
35,6
28 cm
38,3
29,6 cm
2
Purnama
31,6
26,6 cm
32,3
23,3 cm
3
Melisa
32,3
25 cm
31
22,6 cm
4
Sri Wahyuni
34
25,6 cm
33,3
24,3 cm
5
Nurul Afia
37,3
25,3 cm
35
27 cm

5.      Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa perlakuan yang terjadi pada ke-5 orang tersebut jaraknya sama akan tetapi menghasilkan jarak titik buta yang berbeda. Pada saat mata kiri dan memperhatikannya dengan mata kanan, rata-rata dari tanda (+) akan mulai menghilang pada jarak 26 cm dari jarak mata. Sedangkan pada saat mata kanan ditutup dan memperhatikannya dengan mata kiri, rata-rata tanda (-) akan mulai menghilang pada jarak 25 cm dari jarak mata.
Salah satu tanda yaitu (-) atau (+) menjadi hilang dari pandangan karena pada bintik buta mata yang tidak memiliki sel-sel batang dan sel-sel kerucut tepat di jalur keluar sehingga apabila bayangan benda jatuh tepat di bintik buta, maka otak tidak akan mendapatkan sinyal dari mata karena bayangan tersebut jatuh tidak pada sel-sel yang peka terhadap cahaya. Bayangan suatu benda tidak nampak pada jarak tertentu, karena terjadi pembiasan cahaya dari suatu benda yang jatuh pada bagian bintik buta pede retina. Bayangan akan nampak jika pembiasan cahaya dari suatu benda yang jatuh pada bagian bintik kuning pada retina. Hal ini menunjukkan bahwa kejelasan mata dalam melihat benda antara orang yang satu dengan yang lain pasti berbeda. Apabila rata-rata frekuensi kecil maka kejelasan mata dalam melihat benda masih baik dan apabila rata-rata frekuensi besar maka kejelasan mata dalam melihat benda kurang baik.